Ketika motivator itu berdiri sambil mengangkat kedua tangannya dan berteriak “aku bisa.... aku pasti bisa....., I’am the eagle, I’am the winner....!” serentak seluruh audience yang menghadiri pelatihan Motivational dan Leadership tersebut berdiri dan melakukan hal yang sama dengan trainer tadi. Saat itu saya masih berusia 22 tahun, saya pernah mendapat pelatihan yang sama waktu saya masih duduk di semester 1, 2, dan 4 di lingkungan organisasi kampus saya. Belakangan ini saya pun bergelut dibidang tersebut dengan mengadakan training motivational, leadership, teambuilding sampai acara outbound bagi beberapa staf dan direksi perusahaan. Saat ini umur saya telah mencapai usia 25 tahun, namun saya merasakan beberapa hal besar yang sampai saat ini masih belum saya temukan jawabanya.
Saat seorang trainer berpengalaman menyodorkan kepada kita beberapa tugas yang merupakan bentuk virtual dari kehidupan yang sebenarnya dalam sebuah pelatihan leadership dan teambuilding, seolah kita berlomba-lomba dalam sebuah team untuk dapat menjadi yang nomor satu. Lantas terlintas dipemikiran sederhana saya, “apakah penekanan seluruh pelatihan ataupun masalah dalam seluruh kehidupan yang sebenarnya adalah hanya sekadar untuk nomor satu, sipemimpin atau seorang pemenang?”
Pemikiran sederhana saya itu seolah mementahkan beberapa konsep pemikir- pemikir besar yang telah ada, lantas untuk apa pelatihan team building yang notabene menekankan pemahaman pada soliditas dan kerjasama jika harus di “mentahkan” kembali dengan pelatihan Leadership yang cenderung merupakan sebuah “doktrinasi halus” sebuah kompetisi di dalam sebuah team....
Banyak pemikir berlomba-lomba mendeskripsikan arti pemenang ataupun pecundang, mereka berharap dapat mengeluarkan statement terunggul dan sanggup mepecundangi pemikir lama yang memiliki statement lain yang berseberangan. Apakah mereka para pemikir-pemikir yang juga ter-lahir dari pelatihan-pelatihan tersebut?
Saat kuliah pun saya mengamati beberapa hal buruk tentang efek “doktrin halus” kompetisi dalam leadership, ternyata justru membuat organisasi menjadi kacau dan banyak berlahiran pahlawan kesiangan, semua orang memiliki basic sebagai pemenang dan mampu berstrategi (baik untuk kepentingan golongan atau pribadi) untuk mepecundangi orang lain.
Belakangan ini di salah satu organisasi keagamaan (tidak dpt saya sebutkan), pelajaran motivasi, dan leadership itupun di berikan kepada umat mereka yang masih duduk di kelas 1 smp atau berusia 13 tahun. Saya berpikir itu adalah hal yang sangat ironis, dimana pada usia tersebut pemikiran seorang anak masih sangat labil untuk dibekali oleh intrik-intrik dan strategi leadership.
Pasca pelatihan leadership kampus, saya menjabat ketua pelaksana sebuah acara, namun pada prapelaksanaan sampai hari H acara, kepanitiaan berjalan kacau lantaran semua orang merasa lebih tau, merasa seorang konseptor dan selalu menyalahkan. Begitu juga setelah saat ini saya banyak menyelenggarakan pelatihan serupa, didalam sebuah penugasan, yang saya lihat dari beberapa peserta hanyalah kegiatan cari muka dan pengejawantahan ego belaka.
Lantas saya berfikir, kenapa harus ada pemenang dan pecundang, mengapa harus ada pangkat, mengapa diciptakan nilai, mengapa ada salah dan benar, mengapa ada kaya dan miskin, mengapa ada hebat dan lemah jika hanya membuat manusia terikat pada beberapa hal yang berbau kompetisi sehingga melupakan berbagi terhadap sesama.
Suatu ketika saya bertemu seorang trainer muda yang telah memiliki jam terbang tinggi dalam berbicara didepan ribuah audience, Ia bercerita mengenai keberhasilannya sebagai seorang eksekutif dalam mengatur bawahannya, dalam kesuksesan mencapai target-target dan dalam segala bentuk kemenangan argumentasi beliau. Namun dari sekian jam kami berbicara, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau; “saat Anda mengalami kesuksesan-kesuksesan, apakah Anda merasakan kemenangan dari banyak orang?” dengan semangat dia berkata “ya”, lantas saya bertanya kembali “Banyak yang sakit hati atau tidak terima dengan anda?” lalu dia menjawab lagi dengan sangat percaya diri “ya jelas pasti ada, mau tidak mau kita pasti harus berseberangan, dan untuk pencapaian kebaikan disitulah mental yang bermain” lalu saya sambil tersenyum melontarkan kalimat kepada beliau “Bagaimana dengan sebuah sukses namun tidak ada satu pun yang merasa dirugikan?”. “apakah bisa kita menang namun lawan tetap bisa menerimannya?, atau mungkin anda justru harus banyak belajar lagi?” dan Trainer kawakan itu diam.
Lantas apa beda manusia dengan harimau dihutan kalau yang dicari hanya sekedar kemenangan? Di mana dikuburnya ajaran persaudaraan dari para nabi, lantas kita harus terdoktrin dengan pelatihan-pelatihan versi yahudi tersebut?
Kapan kita terlepas dari perangkap faham kapitalis yang semakin buas? Apakah hutan dipegunungan lauser juga merupakan imbas dari para pemenang birokrasi versi kapitalis? Lantas untuk apa kita bicara pemenang bila harus ada korban? Ingatkah kita terhadap Nabi, Beliau berperang namun tidak mencari kemenangan…..
Suatu ketika saya juga bertemu dengan seorang pemuda dari korps pencinta alam. Ia cukup bijak dalam melontarkan perkataan, ketika seseorang bertanya kepadanya “apa yang kau dapatkan ketika harus memanjat cadasnya tebing dan tingginya sebuah gunung” Ia menjawab; “saya banyak mendapat pengalaman, saya mampu menguasai diri, saya sanggup mengalahkan ego dalam diri saya hingga saya selalu berhasil berpijak di puncak sebuah gunung”. Lantas orang tadi berpendapat “mengapa anda mengalahkan diri anda atau ego anda? Padahal pikiran anda, hati anda adalah raja bagi diri anda."
Saat seorang trainer berpengalaman menyodorkan kepada kita beberapa tugas yang merupakan bentuk virtual dari kehidupan yang sebenarnya dalam sebuah pelatihan leadership dan teambuilding, seolah kita berlomba-lomba dalam sebuah team untuk dapat menjadi yang nomor satu. Lantas terlintas dipemikiran sederhana saya, “apakah penekanan seluruh pelatihan ataupun masalah dalam seluruh kehidupan yang sebenarnya adalah hanya sekadar untuk nomor satu, sipemimpin atau seorang pemenang?”
Pemikiran sederhana saya itu seolah mementahkan beberapa konsep pemikir- pemikir besar yang telah ada, lantas untuk apa pelatihan team building yang notabene menekankan pemahaman pada soliditas dan kerjasama jika harus di “mentahkan” kembali dengan pelatihan Leadership yang cenderung merupakan sebuah “doktrinasi halus” sebuah kompetisi di dalam sebuah team....
Banyak pemikir berlomba-lomba mendeskripsikan arti pemenang ataupun pecundang, mereka berharap dapat mengeluarkan statement terunggul dan sanggup mepecundangi pemikir lama yang memiliki statement lain yang berseberangan. Apakah mereka para pemikir-pemikir yang juga ter-lahir dari pelatihan-pelatihan tersebut?
Saat kuliah pun saya mengamati beberapa hal buruk tentang efek “doktrin halus” kompetisi dalam leadership, ternyata justru membuat organisasi menjadi kacau dan banyak berlahiran pahlawan kesiangan, semua orang memiliki basic sebagai pemenang dan mampu berstrategi (baik untuk kepentingan golongan atau pribadi) untuk mepecundangi orang lain.
Belakangan ini di salah satu organisasi keagamaan (tidak dpt saya sebutkan), pelajaran motivasi, dan leadership itupun di berikan kepada umat mereka yang masih duduk di kelas 1 smp atau berusia 13 tahun. Saya berpikir itu adalah hal yang sangat ironis, dimana pada usia tersebut pemikiran seorang anak masih sangat labil untuk dibekali oleh intrik-intrik dan strategi leadership.
Pasca pelatihan leadership kampus, saya menjabat ketua pelaksana sebuah acara, namun pada prapelaksanaan sampai hari H acara, kepanitiaan berjalan kacau lantaran semua orang merasa lebih tau, merasa seorang konseptor dan selalu menyalahkan. Begitu juga setelah saat ini saya banyak menyelenggarakan pelatihan serupa, didalam sebuah penugasan, yang saya lihat dari beberapa peserta hanyalah kegiatan cari muka dan pengejawantahan ego belaka.
Lantas saya berfikir, kenapa harus ada pemenang dan pecundang, mengapa harus ada pangkat, mengapa diciptakan nilai, mengapa ada salah dan benar, mengapa ada kaya dan miskin, mengapa ada hebat dan lemah jika hanya membuat manusia terikat pada beberapa hal yang berbau kompetisi sehingga melupakan berbagi terhadap sesama.
Suatu ketika saya bertemu seorang trainer muda yang telah memiliki jam terbang tinggi dalam berbicara didepan ribuah audience, Ia bercerita mengenai keberhasilannya sebagai seorang eksekutif dalam mengatur bawahannya, dalam kesuksesan mencapai target-target dan dalam segala bentuk kemenangan argumentasi beliau. Namun dari sekian jam kami berbicara, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau; “saat Anda mengalami kesuksesan-kesuksesan, apakah Anda merasakan kemenangan dari banyak orang?” dengan semangat dia berkata “ya”, lantas saya bertanya kembali “Banyak yang sakit hati atau tidak terima dengan anda?” lalu dia menjawab lagi dengan sangat percaya diri “ya jelas pasti ada, mau tidak mau kita pasti harus berseberangan, dan untuk pencapaian kebaikan disitulah mental yang bermain” lalu saya sambil tersenyum melontarkan kalimat kepada beliau “Bagaimana dengan sebuah sukses namun tidak ada satu pun yang merasa dirugikan?”. “apakah bisa kita menang namun lawan tetap bisa menerimannya?, atau mungkin anda justru harus banyak belajar lagi?” dan Trainer kawakan itu diam.
Lantas apa beda manusia dengan harimau dihutan kalau yang dicari hanya sekedar kemenangan? Di mana dikuburnya ajaran persaudaraan dari para nabi, lantas kita harus terdoktrin dengan pelatihan-pelatihan versi yahudi tersebut?
Kapan kita terlepas dari perangkap faham kapitalis yang semakin buas? Apakah hutan dipegunungan lauser juga merupakan imbas dari para pemenang birokrasi versi kapitalis? Lantas untuk apa kita bicara pemenang bila harus ada korban? Ingatkah kita terhadap Nabi, Beliau berperang namun tidak mencari kemenangan…..
Suatu ketika saya juga bertemu dengan seorang pemuda dari korps pencinta alam. Ia cukup bijak dalam melontarkan perkataan, ketika seseorang bertanya kepadanya “apa yang kau dapatkan ketika harus memanjat cadasnya tebing dan tingginya sebuah gunung” Ia menjawab; “saya banyak mendapat pengalaman, saya mampu menguasai diri, saya sanggup mengalahkan ego dalam diri saya hingga saya selalu berhasil berpijak di puncak sebuah gunung”. Lantas orang tadi berpendapat “mengapa anda mengalahkan diri anda atau ego anda? Padahal pikiran anda, hati anda adalah raja bagi diri anda."
"Tetapi, raja bukan untuk mengalahkan pengikutnya."
Sebuah petikan obrolan tersebut menarik bagi saya, dari hal tersebut saya berfikir, tidak ada satu individu yang berhak untuk kita kalahkan, sementara tubuh kita pun tidak pantas untuk di kalahkan oleh diri kita sendiri, yang ada hanyalah mengayomi, bekerjasama dan saling berbagi. Itulah sebuah kemenangan yang sebenarnya......
Sebuah petikan obrolan tersebut menarik bagi saya, dari hal tersebut saya berfikir, tidak ada satu individu yang berhak untuk kita kalahkan, sementara tubuh kita pun tidak pantas untuk di kalahkan oleh diri kita sendiri, yang ada hanyalah mengayomi, bekerjasama dan saling berbagi. Itulah sebuah kemenangan yang sebenarnya......
Terima kasih sekali. Saya jadi paham jiwa kepemimpinan tidak hanya di dapat dari pelatihan pelatihan yg tetap saja berkompetisi. Semangat. Karena hidup itu indah
BalasHapus