Kapan Kita Berempati kepada Orang Miskin?
Jumat sore pekan lalu saya dan beberapa teman melintasi jalur lambat Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Lalu lintas padat. Di depan Bank Permata ada dua orang lanjut usia sedang menarik gerobak penuh kardus. Di depan mereka dua orang bersepeda, masing-masing membawa buntalan tinggi di tempat duduk belakang. Mereka bergerak perlahan menyusuri jalan macet.Klakson meraung bertalu-talu dari sejumlah pengemudi kendaraan pribadi, yang umumnya adalah kendaraan roda empat. Dua penduduk renta itu terus berusaha menarik gerobaknya lebih kencang. Dua orang bersepeda pun berusaha mengayuh lebih cepat. Mereka terus berpacu karena selalu diklakson pengendara-pengendara mobil di belakang mereka.
Tidak enak rasanya melihat orang kecil mengalami perlakuan seperti itu. Warga yang mapan kerap mengabaikan warga lemah yang tak mampu mengikuti irama cepat. Sebagian warga mapan tak menyadari bahwa klakson bertalu-talu yang tampak sepele itu malah menyayat hati orang kecil.
Banyak kejadian lain di Jakarta yang mestinya membuat seluruh warga Ibu Kota prihatin. Pedagang kaki lima dikejar- kejar petugas ketertiban. Joki 3 in 1 yang bersedia berjemur di bawah teriknya Matahari atau kehujanan untuk memperoleh sekian ribu rupiah. Di sekitar kita banyak warga dirawat di rumah sakit, tetapi tidak mampu bayar.
Ada pula warga yang memilih bunuh diri bersama beberapa anaknya karena kemiskinan. Peristiwa demi peristiwa memilukan hati masih sering dan terus terjadi, dan kita kemudian terkesan tidak lagi mempersoalkan karena menganggap kejadian-kejadian itu sudah menjadi keseharian.
Kalau kita mencoba melihat masalah sosial ini dengan hati simpati dan empati, warga Jakarta mestinya memahami, kota berpenduduk 8,7 juta orang ini dihuni berbagai lapisan masyarakat. Mestinya semua bersimpati dan saling menghormati satu sama lain. Warga kaya tidak usah mentang- mentang, tidak usah arogan. Lebih baik kalau hidup sederhana, rendah hati, dan mengulurkan tangan membantu mereka. Menolong dan memberi mereka peluang bangkit sama dengan membawa mereka keluar dari jurang.
Semasa hidupnya, tokoh besar republik seperti Mohammad Hatta dalam banyak kesempatan selalu menekankan makna solidaritas, kesetiakawanan. Mau merasakan penderitaan orang lain, mau bersimpati
dan berbagi. Ini akan melahirkan negara yang tenang, damai, dan sejahtera.
Dua peraih Nobel perdamaian, Bunda Teresa dan Muhammad Yunus, juga penganjur cinta pada sesama. Mereka menolong tanpa pamrih. Mungkin amat sulit untuk mempunyai cinta seperti mereka. Akan baik pula kalau dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, dan seterusnya.
Inilah pesan paling bermakna. Pesan ini memang selalu disampaikan. Zaman, pemerintahan, dan manusia boleh selalu berganti. Namun, tema damai, sederhana, dan berani mewujudkan cinta kasih akan selalu abadi. Tidak pernah lapuk dilalui zaman.
[ kompas ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar, mudah-mudahan bermanfaat untuk semua pengunjung.