Laman

Senin, 18 Juni 2012

Aku Malu

Aku Malu
Hari ini Wenny malu sekali. Rasanya ingin menghilang masuk ke Bumi atau menyelam ke lautan yang dalam dan tidak muncul-muncul lagi. Masalahnya sih, sebenarnya tidak terlalu besar. Tapi, malunya itu. Benar-benar malu!

Kejadian hari ini sebenarnya dimulai dari kebiasaan Wenny di kantor. Wenny sudah bekerja di kantor itu selama hampir enam tahun sebagai sekretaris. Tanpa sadar, kantor sudah menjadi bagaikan rumah kedua baginya. Wenny membawa bantalan kursi untuk pengganjal punggung sewaktu merasa pegal. Kadang-kadang dipakai juga sebagai alas duduk atau sekedar dipeluk. Bahkan kadang-kadang kalau mengantuk sekali, dia juga meletakkan kepalanya di situ. Tentu saja jangan sampai ketahuan atasan. Bisa gawat nanti.

Di bawah meja kerjanya selalu ada sepasang sandal jepit dan sepasang sandal yang lebih bagus dengan hak setinggi lima centimeter. Dia tidak suka seharian mengenakan sepatu. Jadi setiap kali duduk, Wenny melepaskan sepatunya dan mengenakan sandal jepit. Kalau hanya berdiri sebentar untuk mengambil kertas dari lemari dekat mejanya, Wenny tetap mengenakan sandal jepitnya. Kan dekat? Kalau dipanggil atasan atau ke ruangan lain, ya pakai sepatu lagi. Sandal jepit itu tidak pernah dibawa pulang. Memang buat di kantor sih. Karyawan lain juga begitu kok.

Sandal yang lebih bagus, dengan hak setinggi lima centimeter itu, hanya dipakai pada waktu ke toilet atau pada waktu mau pulang. Buat apa pakai sepatu? Lebih enak pakai sandal. Praktis. Begitulah pikir Wenny. Jadilah sepatunya tidak pernah meninggalkan kantor hingga umat sore. Jumat sore, sepatunya dibawa pulang dalam kantong plastik. Hanya untuk berjaga-jaga kalau-kalau dia perlu pakai sepatu di akhir minggu. Senin, sepatunya dibawa kembali ke kantor dengan menggunakan kantong plastik. Sepatunya akan kembali ditinggalkan di kantor hingga Jumat sore berikutnya.

Tanpa disangka-sangka, pagi ini datanglah tiga orang tamu atasannya. Mereka seharusnya tiba pukul 11.00, tapi entah mengapa mereka sudah tiba di kantor pukul sembilan pagi. Yang satu orang Jepang, sedangkan yang dua lagi orang Kanada. Mereka diizinkan langsung masuk karena memang sudah ada janji. Wenny sedang duduk di mejanya dan tentu saja sedang memakai sandal jepit.

Tiba-tiba, ketiga orang tamunya sudah berdiri di hadapannya dan menanyakan atasannya. Pada saat mau berdiri, kaki Wenny otomatis melepas sandal jepitnya dan mencari sepatunya. Tapi sepatu kanannya tidak ketemu. Nah loh! Kaki kanannya meraba-raba lantai di bawah mejanya, sambil mencoba mengulur waktu dengan mengajak tamunya tersenyum dan menanyakan kabar mereka. Tiba-tiba tamu yang dari Kanada tersenyum-senyum sambil matanya memandang ke bawah. Wenny terkejut. Ternyata tanpa disadarinya ujung kakinya terjulur terlalu jauh sehingga muncul dari bawah meja dekat tamunya berdiri. Tamu itu tersenyum melihat ujung kaki sedang meraba-raba mencari sesuatu. Aduh celaka!

Lebih celaka lagi, ternyata sepatunya tanpa sengaja terdorong oleh kakinya hingga keluar dari bawah meja dan berada di luar jangkauan kaki kanannya. Mau tidak mau Wenny harus keluar dari balik mejanya untuk mengambil sepatunya. Sambil senyum-senyum kedua orang Kanada itu memandang kearah lain, pura-pura tidak tahu. Tapi tamu yang dari Jepang tidak tahu masalah sepatu itu dan sempat heran melihatnya berjalan terpincang-pincang keluar dari balik mejanya. Setelah melihat Wenny mengambil sepatu, barulah tamu dari Jepang itu mengerti permasalahannya dan tersenyum penuh pengertian. Aduuh malunya!

Seakan-akan seluruh gedung runtuh di hadapannya! Dengan perasaan tidak menentu, Wenny mengantar mereka ke ruang rapat lalu cepat-cepat meninggalkan mereka di sana. Setelah memberitahu atasannya, Wenny baru sadar dia belum menanyakan mereka ingin minum apa. Terpaksa dia kembali ke ruang rapat dan menemui tamunya lagi.

Setelah kejadian itu, baru Wenny ingat atasannya sering menyuruhnya tidak melepas sepatu. Beliau pernah mengatakan hal itu akan menjadi kebiasaan dan Wenny tidak pernah tahu kapan dia perlu memakai sepatu, sehingga lebih baik selalu memakai sepatu setiap saat.

Mengingat kata-kata atasannya, barulah Wenny menyesal. Mengapa dia tidak percaya? Mengapa dia tidak menuruti nasehat beliau? Mengapa dia menganggap remeh? Kalau dari dulu dia disiplin terhadap dirinya sendiri dan selalu mengenakan sepatu, bukankah kini dia sudah terbiasa selalu mengenakan sepatu di mana pun? Bukankah sebenarnya dia tidak perlu sandal jepit? Wenny baru sadar selama ini dia hanya malas saja. Malas memakai sepatu. Dia hanya memanjakan dirinya sendiri. Tidak mau mendisiplinkan dirinya sendiri.

Setelah kejadian pagi ini, Wenny berniat akan mulai melatih dirinya untuk selalu memakai sepatu. Memang masalah kecil sih. Tapi apa ruginya kalau dia bisa meningkatkan penampilannya menjadi lebih baik? Kedua pasang sandalnya akan dibawanya pulang. Dia hanya akan memakai sepatu di kantor. Lebih malunya lagi, ketika ketiga tamunya pulang dan melewati mejanya, mata mereka melirik bagian bawah mejanya. Aduuh! Harusnya tidak perlu sampai begini. Be better! Be more professional!

[ Lisa Nuryanti ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar, mudah-mudahan bermanfaat untuk semua pengunjung.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...